Pages

The sacrifice, The love & The story


Pria yang rambutnya sudah memutih itu tersenyum menatap kalender di ruang kerjanya, 20 Desember dan ia masih di sana, di sebuah ruangan kecil dengan tembok berwarna putih yang sudah mulai pudar. Ruangannya semerbak oleh bau obat yang khas, padahal ruangan obat berada di seberang ruangan tempat ia berada. Di leher pria itu masih tergantung stetoskop yang biasa ia gunakan untuk memeriksa mereka yang datang kepadanya.

Kini, seminggu menjelang Natal, ia masih berada di tempat yang jauh dari keluarganya. Ia berada di tempat yang terbilang jauh berbeda dari tempat di mana ia berasal, yang penuh dengan bangunan pencakar langit dan hiruk pikuk keramaian sebuah kota yang tak pernah tidur. Nyatanya, di tempat ia berada sekarang, tidak ada pusat hiburan, tidak ada keramaian, yang ada hanya suara berisik dari keheningan malam itu sendiri. Ia seolah berada di peradaban lain, di sebuah desa pedalaman Kalimantan di mana hanya ada nyanyian kodok dan jangkrik yang terdengar ketika hari sudah gelap.

Sekilas matanya yang biru keabu-abuan memandang jam dinding di ruangannya. Pukul 21:30 malam. Pada waktu itu seharusnya ia sudah pulang dan beristirahat di rumahnya. Namun, ia masih tersenyum pada pasien di depannya itu, matanya selalu tampak teduh meskipun ia telah bekerja sepanjang hari.

Ia tetap tersenyum menatap pasien yang protes karena terlalu lama mengantri sementara ia sendiri bahkan tidak sempat makan siang karena antrian pasiennya yang seakan tak pernah putus. Ia masih tersenyum dan menanggapi dengan ramah ketika ada orang yang berkata bahwa harga obat-obatnya terlalu mahal walaupun sebenarnya obat yang ia pakai adalah hasil subsidi dan jauh lebih murah daripada di tempat-tempat lain. Ia bahkan tersenyum ketika ada orang yang mulai menuduhnya penjajah walau di dalam hatinya ia bersedih, menangis dan berdoa kepada Bapanya.

Hari-harinya disibukkan dengan memeriksa pasiennya dan mengunjungi mereka yang dirawat di sana. Ia mengenal pasien-pasiennya secara pribadi dan berdoa untuk mereka setiap kali ia mengunjungi mereka satu per satu. Di akhir doanya ia selalu berkata "I am nothing, Lord. I am only a tool that You can use. You are the Master Physician". Disaat pasiennya mengucapkan terima kasih kepadanya, ia berkata “No. Thank the Lord. Hanya Ia yang menyembuhkan”. Di dalam dirinya, tercermin kasih Bapa.

Keseharian seperti itu dijalaninya bukan karena ia tak punya pilihan lain. Dengan kemampuannya sebagai seorang dokter professional, tentu ia bisa mendapatkan penghasilan yang jauh lebih besar jika ia tetap bekerja di negaranya saja. Rumahnya di pedalaman Kalimantan itu pun hanyalah sebuah rumah kecil yang teramat sederhana dan seadanya. Motor biru yang ia kendarai pun sudah sangat tua sampai- sampai beberapa orang ragu kalau motor itu masih bisa digunakan.

Ia menjalani semua itu juga bukan karena sekedar ingin berbagi kasih “menjelang” Natal saja. Kasih Natal itu telah lahir dalam hatinya dan “misi kasih” dari Natal itu sendiri ia bagikan setiap hari dalam kehidupannya. Bukan hanya untuk satu atau dua bulan, tapi puluhan tahun sudah ia mengabdi di sana, melayani masyarakat pedalaman di kampong itu. Di usianya yang sudah memasuki 70 tahun, ia seharusnya sudah pensiun namun ia rasa pengabdian dan kasihnya begitu besar sehingga ia tetap melayani di sana. Dengan semua kesibukannya serta kehidupan yang teramat sederhana itu, ia tak pernah mengeluh kekurangan. Ia selalu tampak bersukacita.

Ketika berbicara tentang memberi, yang menjadi inti dari semuanya bukanlah jumlah uang yang diberikan, tetapi hati yang sungguh mau dan tulus membantu orang lain. Memberi sebagai tanda ungkapan kasih tidak selalu tentang uang, tapi bisa juga melalui tenaga, waktu, dan pikiran seperti pada ulasan dokter di atas. Bagaimana dengan anda seiring berjalannya waktu menuju hari natal yang telah lama kita nantikan? Sudahkah anda siap untuk memberi? (ENG)

“ Dalam segala sesuatu telah kuberikan contoh kepada kamu, bahwa dengan bekerja demikian kita harus membantu orang- orang yang lemah dan harus mengingat perkataan Tuhan Yesus, sebab Ia sendiri telah mengatakan: Adalah lebih berbahagia memberi dari pada menerima.”

- Kis 20: 35-


Sebab Natal tak akan berarti tanpa kasihMU lahir di hatiku.

-Kutipan lirik lagu “Natal di hatiku”-


Do you know?

Menurut penelitian yang dilakukan oleh pakar neuroeconomist William Harbaugh beserta rekan-rekannya yang berasal dari Universitas Oregon, ketika seseorang memberi pada orang lain, dua wilayah evolutif yang terletak jauh di dalam otak (caudate nucleus dan nucleus accumbens) menjadi aktif. Bahkan menjadi amat sangat aktif ketika seseorang memberi dengan tulus/ikhlas. Untuk diketahui, dua wilayah otak ini juga lah yang menjadi aktif tatkala kebutuhan kita yang paling mendasar terpenuhi, sepeti makan santapan yang lezat atau dihargai oleh orang lain. Ini menunjukkan adanya hubungan langsung yang terjadi di otak kita antara aktivitas menolong orang lain dan sensasi/rasa kebahagiaan.

Yosi Budiarto

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

No comments:

Post a Comment